Campaigns Wikia
Advertisement

NASIONALISASI UNTUK MEREBUT MIMPI INDONESIA[]

Mimpi Indonesia (Indonesian Dream), itulah mimpi 100 tahun lalu para perintis Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1908. Sebuah imagined communities - komunitas terbayangkan – yang kemudian dikumandangkan kembali pada 28 Oktober 1928 dalam ikatan bahasa Indonesia, tanahair Indonesia, dan bangsa Indonesia. Kapan komunitas imajiner berbentuk sebuah negara dan pemerintahan, tak pernah tegas disebutkan oleh para perintis Kebangkitan Nasional maupun Sumpah Pemuda itu. Mereka yakin bahwa suatu hari nanti, entah kapan negara dan pemerintahan yang menjadi tubuh realitas dari mimpi Indonesia itu terwujud, yang terpenting mereka menegaskan ada pengikat untuk hidup bersama (common denominator), sebuah alasan kenapa bangsa-bangsa nusantara bisa hidup bersama dalam identitas politik, budaya, geografis bernama Indonesia.

Pada 1945, mimpi Indonesia tersebut berwujud negara dan pemerintahan, dengan penegasan bahwa,”pemerintahan negara Indonesia bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta mewujudkan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Sebuah misi praktis untuk menegaskan bahwa identitas politik, budaya, dan geografis akan bermakna bila wujudnya kongkrit – dinikmati dalam kehidupan sehari-hari – yang berwujud kesejahteraan, kecerdasan, dan keadilan sosial. Bila misi praktis dan kongkrit ini tak terwujud, setiap warganegara tentu bertanya-tanya untuk apa tetap bersatu dalam tanahair, bahasa, bangsa Indonesia bukan?

Kemiskinan dan ketimpangan sosial[]

Indonesia hari ini adalah Indonesia dalam pertarungan untuk mewujudkan mimpi Indonesia seabad lalu versus realitas konkrit yang menceraiberaikannya. Kemiskinan yang menghantui sepanjang 63 tahun kemerdekaan hampir serupa wujud kongkritnya seperti di masa kolonial. Ketika Multatuli menulis Saijah Adinda pada 1860an, kemiskinan dan penindasan adalah realitas kongkrit di Lebak (Banten), namun 168 tahun kemudian pada Februari 2008 (Kompas 5/2) di Lebak kembali ada empat balita meninggal dunia karena busung lapar tercekik kemiskinan orangtua mereka. Teror kemiskinan serupa terjadi di Makassar, Daeng Basse (hamil lima bulan) dan puteranya tujuh tahun juga mati kelaparan, lalu Naila (4) juga meninggal dunia di Banjar Baru, Kalimantan Selatan. Apa kata Jusuf Kalla, wakil presiden Republik Indonesia, Republik yang diimpikan para perintis Kebangkitan Nasional, “Busung lapar itu hal biasa.” Di Jawa Barat saja pada 2007, ada sekitar 5,6 juta orang berada di bawah garis kemiskinan, naik dari 2006 sekitar 5,2 juta orang, walaupun ukuran garis kemiskinan hanya Rp.158.000/kapita/bulan atau sekitar Rp.5.300/kapita/hari. Terbayangkan pendapatan Rp.5.300 untuk memenuhi mimpi Indonesia, kesejahteraan, kecerdasan dan keadilan sosial. Memenuhi makan sehari-hari saja tak sanggup, apalagi mengembangkan diri melalui pendidikan dan merebut pengetahuan. Secara nasional ratusan juta rakyat Indonesia sekarang bernasib serupa dengan jutaan penduduk miskin di Jawa Barat. Bagi mereka mimpi Indonesia tak ada pernah ada. Mimpi Indonesia berantakan dihimpit kemiskinan dan kematian karena kelaparan.

Siapakah yang beruntung? Simaklah, pengusaha terkaya Indonesia sekaligus Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Aburizal Bakri dan keluarga (Bakrie & Brothers) pada tahun 2008 (Tempo 15 Mei 2008) menguasai kekayaan sekitar Rp.49,7 triliun (US$5,4 miliar), padahal pada 2006 hanya menguasai US$1,2 miliar, naik hampir lima kali lipat ketika kemiskinan bertambah dan rakyat kelaparan, dan putus asa dengan kemiskinan sehingga membunuh anak, keluarga, serta bunuh diri. Bahkan riset terbaru Globe Asia (Mei 2008) menobatkan Aburizal Bakrie (Indonesia) sebagai manusia terkaya di Indonesia dan di Asia Tenggara dengan nilai kekayaan US$ 9,2 miliar (Rp.84,6 triliun); sebelumnya tahun 2007 senilai US$1,05 miliar (Rp.9,6 triliun); Bisnisnya menggurita di bidang batubara, perkebunan, minyak, properti, telekomunikasi, dan media. Termasuk PT Kaltim Prima Coal dan PT Bumi Resources yang menolak membayar royalti triliuan rupiah kepada negara.

Setelah Bakrie (Tempo 15 Mei 2008) ada Sukanto Tanoto dengan kekayaan Rp.43,3 trilun, lalu R.Budi Hartono (Rp.28,9 trilun), Michael Bambang Hartono (Rp.28,3 triliun), Eka Tjipta Widjaya (25,8 triliun). Jusuf Kalla, wakil presiden Republik Indonesia, di urutan ke-30 orang Indonesia terkaya dengan kekayaan Rp.2,1 triliun, juga Aksa Mahmud, wakil ketua MPR-RI, berkeluarga dengan Jusuf Kalla kekayaannya Rp.3,1 triliun di urutan ke-24. Apalagi bila menyimak para penguasa sumberdaya alam, minyak, gas dan tambang sudah dikuasai asing 80 persen, dimana 70 persen diantaranya adalah pengusaha Amerika Serikat (AS). Contoh kongkrit, tambang tembaga dan emas terbesar di dunia di Papua dikuasai perusahaan AS bernama PT. Freeport McMoran 86,5 persen, pemerintah 9 persen dan Aburizal Bakrie 4,5 persen. Sungguh tak terbayangkan di lumbung emas dan tembaga ini puluhan orang Papua mati kelaparan di Yakohimo.

Mimpi Indonesia dan kepemimpinan baru[]

Nah, dalam realitas kongkrit dimana ratusan juta rakyat Indonesia hidup dicengkeram ketakutan mati dalam kemiskinan yang mencekik. Termasuk hidup dalam eksploitasi modal kapitalis (paduan penguasa dan pengusaha) dalam negeri dan luarnegeri, tak ubahnya para kolonialis mengeksploitasi penduduk pribumi seperti digambarkan Multatuli, serta ketimpangan sosial yang sangat menghina manusia Indonesia. Apalagi yang bisa mengikat kita semua untuk hidup bersama di dalam tanahair, bahasa, dan bangsa Indonesia? Realitas kongkrit seperti kesejahteraan, kecerdasan, dan keadilan sosial yang merupakan wujud kongkrit dari mimpi Indonesia tak pernah terwujud nyata. Realitas kongkrit menggerogoti semua ikatan keindonesiaan kita. Sikap kritis mempertanyakan realitas ini dihadapi dengan represi dan kekerasan hampir sepanjang 63 tahun kemerdekaan. Termasuk represi dan kekerasan hari ini terhadap gerakan mahasiswa baru, Angkatan 2008 yang berkonfrontasi langsung dengan kebijakan ekonomi-politik rezim Jenderal (purn.) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) yang keras kepala menaikkan BBM, menambah kemiskinan, menajamkan ketimpangan sosial dan ketimpangan antar daerah. Mudah sekali sekarang menemukan pemuda-pemudi di pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua, Sumatera yang berteriak lebih baik merdeka daripada mati dan sengsara dalam Republik Indonesia, mereka bermimpi menjadi negara merdeka dan berdaulat secara politik dan ekonomi dari Indonesia. Tetapi para oligarki politik dan ekonomi kita tak perduli dengan teriakan keputusasaan ini. Padahal dengan menasionalisasi aset strategis seperti Freeport di Papua (Freeport McMoran), Blok Cepu di Jawa Timur (ExxonMobil), Blok Gas Tangguh di Papua Barat, Blok Mahakam di Kalimantan Timur (Total E&P Indonesie, Perancis), Blok Natuna di Kepulauan Riau (ExxonMobil); juga migas di Riau yang dikuasai Chevron Pacific, Newmont Minahasa dan Nusa Tenggara, Kelian Equatorial Mining (Aurora Gold Australia) dan lain-lain, bahkan Indosat (dijual rezim Megawati Soekarnoputri) yang kini dikuasai Temasek Holding dan Qatar Telecom sehingga 89% pangsa pasar telekomunikasi Indonesia melalui praktik oligopoli dan kartel harga serta suplai. Tak kurang rezim Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla pun menjual aset strategis seperti Blok Cepu, dan lima blok migas lagi pada 26 Mei 2008 yaitu: Blok South Barito, Blok South East Palung Aru, Blok Rangkas, Blok West Timor, Blok Kasuri, dan lain-lain

Sungguh, 100 tahun perjalanan Kebangkitan Nasional adalah perjalanan tragedi dari mimpi Indonesia, menjual Indonesia dengan harga murah. Mimpi kesejahteraan, kecerdasan, dan keadilan sosial menjadi mimpi buruk di tangan para penguasa dan pengusaha yang tak perduli dengan penderitaan, penindasan, dan penghinaan manusia Indonesia oleh manusia Indonesia. Tantangan bersama sekarang jelas 100 tahun ke depan adalah mewujudkan mimpi Indonesia dalam realitas kongkrit. Apakah generasi kepemimpinan nasional sekarang atau the sunset generation seperti SBY, JK, Gus Dur, Megawati, Amien Rais, Akbar Tanjung, Wiranto, Sutiyoso, Prabowo, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X mampu mewujudkan mimpi Indonesia? Jawabannya, tidak. Karena relasi politik, ekonomi, dan sosial mereka ke masa lampau tak terbantahkan dan menghambat segala alternatif progresif yang mungkin untuk mewujudkan mimpi Indonesia. Regenerasi kepemimpinan nasional di bidang politik dan nonpolitik menjadi kata kunci 100 tahun kebangkitan nasional kedua. The rising generation adalah motor 100 tahun kebangkitan nasional kedua, tak ragu mewujudkan mimpi Indonesia, yang sejahtera, cerdas dan berkeadilan sosial. Maka pada 63 tahun kemerdekaan kita, tak ada jalan lain, kita mesti bersumpah untuk merebut kembali mimpi Indonesia yang dicanangkan 100 tahun lalu, salah satunya adalah dengan menasionalisasi semua aset strategis minyak, gas, tambang, telekomunikasi.

Advertisement