Campaigns Wikia
Advertisement


TENTANG RATNA SARUMPAET

Lahir 16 Juli 1949, di Tarutung, Kabupaten Toba, Sumatera Utara; Ratna Sarumpaet anak ke lima dari 9 bersaudara -- 7 perempuan dan 2 laki-laki. Ia mewarisi darah pejuang dari kedua orang tuanya. Bapaknya, Saladin Sarumpaet adalah pejuang kemerdekaan Indonesia yang gigih dan konsisten. Dia pernah menjadi Menteri Pertanian - Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) serta pendiri Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan menjadi sekjen pertama partai tersebut. Ibunya, Yulia Hutabarat adalah sahabat karib Mohammad Hatta. Sebagai ketua Persatuan Wanita Kristen Indonesia (PWKI) Sumatera Timur, ia duduk sebagai salah satu anggota Konstituante. Dia juga dikenal sebagai tokoh penting pergerakan perempuan Tapanuli yang memperjuangkan kedudukan perempuan dalam tubuh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang cenderung didominasi kaum laki-laki. Di awal usia duapuluhan puteri pejabat penting Dewan Gereja Indonesia ini memutuskan menjadi mualaf. Dia kemudian menikah dengan seorang pengusaha keturunan Arab, Achmad Fahmy Alhady dan dikaruniai 4 anak, Mohammad Iqbal Alhady, Fathom Saulina, Ibrahim Alhady dan Atiqah Hasiholan serta dikaruniai 5 cucu laki-laki dari dua anaknya yang sudah menikah.

Sempat menempuh kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur dan Fakultas Hukum UKI, Ratna memilih kesenian sebagai alat perjuangannya. Keberpihakannya pada orang-orang kecil dan marginal menjadi tema setiap karya yang dilahirkannya yang mengupas secara terbuka masalah-masalah kemanusiaan, kebenaran dan keadilan serta mempertanyakannya secara frontal ke hadapan penguasa. Dalam tigabelas tahun terakhir, di tengah kesibukannya sebagai aktivis HAM dan kemanusiaan, Ratna telah menghasilkan delapan naskah drama, yang membuatnya dikenal di seantero jagat. Dara Muning (1993), Marsinah, Nyanyian Dari Bawah Tanah (1994), Terpasung (1995), Pesta Terakhir (1996), Marsinah Menggugat (1997), ALIA, Luka serambi Mekah (2000), Anak-anak Kegelapan (2003) dan Jamila & Sang Presiden (2006). Semua naskah itu diproduksi dan dipentaskan kelompok drama Satu Merah Panggung, yang didirikannya 1974.

Ratna memberikan seluruh hati dan pikirannya pada mereka yang tersudut. Ia melakukan apa saja untuk perubahan tanpa beban apalagi rasa takut. Ia membela Marsinah dan rakyat Aceh meski dengan cara itu dia terus-menerus berhadapan dengan represi penguasa Orde Baru. Pada kampanye Pemilu 1997 ia bersama kelompok teaternya bergabung dengan kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dikurung ketat aparat kepolisian – di sepanjang jalan Warung Buncit, Ratna dan kawan-kawan mengusung sebuah keranda bertuliskan “DEMOKRASI” sambil mengumandangkan kalimat tahlil, ‘La Illah haillallah. Karena ulahnya itu Ratna dan kawan-kawannya ditangkap dan diinterogasi selama 24 jam.

Ketika September 1997 Kepala Kepolisian RI menutup kasus pembunuhan Marsinah dengan dalih DNA korban terkontaminasi, Ratna sadar Negara sedang berusaha membungkam rakyat mempersoalkan nasib buruh kecil dari Sidoarjo itu. Dalam waktu sangat singkat ia melahirkan karya monolog Marsinah Menggugat dan mengusungnya dalam sebuah tur ke sebelas kota di Jawa dan Sumatera. Dianggap sebagai karya provokatif, di setiap kota yang mereka datangi, Ratna dan timnya terus mendapat tekanan ketat dari pihak aparat. Di Surabaya, Bandung dan Bandar Lampung, pertunjukan ini bahkan dibubarkan secara represif oleh sekitar lima ratusan pasukan anti huru-hara dilengkapi senjata dan tank. Dengan tingginya kontroversi Marsinah Menggugat, Ratna berhasil membuat kasus pembunuhan Marsinah mencuat dan menjadi perhatian dunia. Sebaliknya, sejak itu rumah Ratna di Kampung Melayu Kecil sekaligus menjadi sanggar Satu Merah Panggung terus diawasi intel dan nama Ratna secara tetap tertera dalam daftar orang-orang yang harus diawasi ketat karena dianggap membahayakan Negara.

Lelah menjadi obyek intimidasi aparat, akhir 1997 Ratna memutuskan untuk melakukan perlawanan. Ia menghentikan kegiatan-kegiatannya sebagai seniman dan mengumpulkan 46 LSM dan Organisasi-organisasi Pro Demokrasi di kediamannya, lalu membentuk aliansi bernama Siaga. Sebagai organisasi pertama yang secara terbuka menyerukan agar Suharto turun, Siaga menjadi salah satu organisasi paling diincar oleh aparat. Menjelang Sidang Umum MPR, Maret 1998, ketika pemerintah mengeluarkan larangan berkumpul bagi lebih dari lima orang, Ratna bersama Siaga justeru menggelar sebuah Sidang Rakyat “People Summit” di Ancol. Pertemuan ini kemudian dikepung oleh bertruk-truk aparat dari semua angkatan dan Ratna, tujuh kawannya dan putrinya (Fathom) ditangkap dan ditahan dengan tuduhan berlapis, salah satunya, makar. Sesaat setelah Ratna ditangkap, Edmund William, Atase Politik Amerika di Indonesia waktu itu mengatakan dihadapan para wartawan, “Perempuan ini memberikan nyawanya untuk perubahan. Kualitas pemimpin yang dibutuhkan Indonesia kalau Indonesia betul-betul mau berubah”. Hal yang sama di saat yang sama juga diucapkan Faisal Basri “Kita kehilangan seseorang yang mau memasang badannya untuk demokrasi”. Bersama kawan-kawannya Ratna kemudian ditahan di Polda Metro Jaya. Sepuluh hari terakhir berada di LP Pondok Bambu, gerakan mahasiswa dan rakyat yang mendesak agar Suharto turun terus memuncak. LP Pondok Bambu dikawal ketat karena mahasiswa mengancam akan mengepung untuk membebaskan Ratna. Setelah 70 hari dalam kurungan, sehari sebelum Suharto resmi lengser, Ratna dibebaskan.

Setelah Suharto lengser, Ratna Sarumpaet tidak langsung melenggang. Bersama Siaga, 14-16 Agustus 1998, ia menggelar “Dialog Nasional untuk Demokrasi” di Bali Room, Hotel Indonesia. Dihadiri sekitar 600 peserta dari seluruh Indonesia, forum yang dihadiri semua lapisan ini (aktivis, budayawan, intelektual, seniman dan mahasiswa) merumuskan Blue Print Pengelolaan Negara RI. Blue Print itu kemudian diserahkan ke DPR dan pada Habibie, sebagai Presiden saat itu. Sebagai penggagas Dialog Nasional untuk Demokrasi serta keterlibatannya dalam Peristiwa Semanggi II membuat Ratna kembali mejadi target. Sebuah skenario dirancang di Cilangkap. Ia dituduh mengelola gerakan para militer dan dituduh bekerjasama dengan tokoh militer tertentu melakukan pelatihan militer di wilayah Bogor. Ia juga dituduh bekerja sama dengan Ninja, Jepang. Menhankam Pangab waktu itu bahkan secara khusus menggelar petemuan dengan para editor se Jakarta mempresentasikan dan menekankan betapa berbahayanya Ratna. Oleh kawan-kawannya Ratna kemudian disembunyikan. Oleh situasi politik yang terus meruncing November 1998, Ratna akhir diungsikan ke Singapura dan selanjutnya ke Eropa.

Awal Desember 1998, ARTE, sebuah stasiun televisi Perancis dan Amnesty International mengabadikan perjalanan Ratna sebagai pejuang HAM dalam sebuah film dokumenter (52 menit) berjudul The Last Prisoner of Soeharto. Pada peringatan 50 tahun Hari HAM se Dunia, film ini ditayangkan secara nasional di Perancis dan Jerman. Pada saat yang sama, Ratna hadir di Paris di tengah Kongres para pejuang HAM yang berlangsung di sana. Di tengah pertemuan bergengsi ini hati Ratna miris mendengar bagaimana dunia mengecam Indonesia sebagai salah satu Negara pelanggar HAM terburuk. Ia mendengar secara lebih lengkap berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru seperti di Timor Timur dan Aceh. Ia mendengar nama mantan presidennya dan nama sejumlah tokoh militer RI disebut-sebut sebagai otak berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Namun ketika pada acara puncak, 10 Desember 1998, Ratna menyampaikan pidato (di samping tokoh dunia lainnya seperti Dalai Lama dan Ramos Horta), tanpa maksud membela pelanggaran HAM yang dilakukan Orde Baru, Ratna mengeritik keras negara-negara besar seperti USA dan Inggris. Sebagai pensuplai senjata, pendidikan tentara dan peralatan perang, Ratna menuding mereka ikut bertanggungjawab atas berbagai pelanggaran HAM di Indonesia. Usai memberikan pidato, Ratna terbang ke Tokyo untuk menerima “The Female Special Award for Human Rights” dari The Fondation of Human Rights in Asia. Award khusus ini hingga hari ini baru diberikan pada dua perempuan: Aung San Suu Kyi dan Ratna Sarumpaet. Kembali ke tanah air Ratna langsung mengunjungi Aceh. Perasaannya meronta melihat kerusakan kehidupan dan budaya masyarakat Aceh akibat konflik bersenjata yang puluhan tahun melanda wilayah itu dan kesedihannya itu ia dituangkannya dalam sebuah naskah drama ALIA, Luka Serambi Mekah.

Ratna dikenal sangat tegas menolak terlibat dalam politik praktis, namun sejarah mencatat bagaimana sepak terjangnya baik sebagai aktivis maupun sebagai seniman/budayawan selalu dilandasi kesadaran sebagai warga negara yang baik dan sikap politik yang kuat. Ia ikut menggagas dan mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) hingga partai ini resmi dideklarasikan di Istora Senayan. Setelah pemerintahan Habibie berakhir, dan digantikan tokoh reformasi, Ratna memilih lebih menahan diri dan memberi kesempatan. Saat konflik di wilayah Cot Trieng bergolak dan menjadi berita Ratna terbang ke Aceh, langsung ke Cot Trieng dan mengunjungi para pengungsi yang tersebar di seluruh wilayah di Aceh. Dia menembus penjagaan berlapis-lapis aparat menuju Bukit Tengkorak di mana ribuan tulang-belulang Rakyat Aceh terkubur dan menangis di sana. Ketika gagasan menetapkan Aceh sebagai Darurat Militer mencuat dan menjadi pembahasan panas di DPR, Ratna menyurati Presiden saat itu. Ia memohon agar konflik di Aceh diselesaikan dengan pendekatan politik dan budaya. Ratna yakin sebagai perempuan sang Presiden akan menyelesaikan konflik di Aceh dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Sayang Darurat Militer justeru ditetapkan dan 50 ribu tentara bahkan sudah diberangkatkan jauh sebelum Darurat Militer ditetapkan.

Ketika demokrasi tidak lagi menjadi masalah serius, melalui Ratna Sarumpaet Crisis Center (RSCC), Ratna secara konsisten mengulurkan tangannya menolong mereka yang membutuhkan, apapun persoalannya. Mulai dari persoalan kelaparan, korupsi, KDRT dan lain-lain. Banjir bandang yang melanda Jakarta 2001 mencatat RSCC sebagai posko terbesar dan terlama mengurusi korban, hingga ke wilayah Tangerang dan Bekasi. Ratna adalah aktivis lapangan yang konsistensi dan kepekaannya sulit disangkal. Dia turun langsung menyapa dan menyentuh tangan rakyat yang membutuhkannya. Mendengar kerusakan lingkungan akibat racun yang dikeluarkan Indorayon menyusahkan saudara-saudaranya di Porsea, ia terbang ke Porsea. Ia memberi mereka kekuatan. Ia membekali mereka dengan pemahaman tentang hukum dan hak-hak mereka sebagai warga negara. Kehadiran Ratna di Porsea membuat Kepolisian setempat gusar dan memintanya meninggalkan Porsea dengan alasan “Ratna bukan putera daerah”. Ketika Tsunami menghentak Aceh dan Nias, RSCC dijuluki semua pihak sebagai kelompok paling militan. Masuk paling awal mengevakuasi mayat, RSCC berhenti paling akhir. Ratna dan RSCC memutuskan terjun ke Lamno membantu sekitar 550 kepala keluarga di sana karena wilayah ini nyaris tidak ditoleh pihak manapun karena medannya yang sulit dan dianggap menakutkan sebagai wilayah GAM. Untuk semua kerja kerasnya itu, Masyarakat Aceh memberikan pada Ratna penghargaan “Tsunami Award”.

Ratna akan melakukan apapun untuk keadilan, kemanusiaan dan kebenaran tanpa rasa takut, termasuk ketakutan ‘dimusuhi orang’. Ketika RUU APP mencuat, penolakan Ratna kembali membuatnya menjadi berita. Ratna menolak RUU APP karena dianggapnya berpotensi besar membunuh keberagaman budaya dan melanggar filosofi bangsa. Penolakannya itu membuatnya dimusuhi banyak pihak yang menuduhnya penikmat pornografi. Namun Ratna dengan sabar menjelaskan apa alasan keberatannya termasuk alasannya menolak pola pembangunan moral mekanis yang dianggapnya tidak menghormati manusia sebagai mahluk yang memiliki akal budi dan punya hati. Terakhir, kritik-kritik kerasnya atas perlakuan pemerintah terhadap korban lumpur panas Lapindo yang dianggapnya sudah tidak manusiawi, membuat kedudukannya sebagai panelis utama sebuah ‘Talk Show’ di sebuah stasion televisi goyang, dan Ratna memutuskan mundur ….


Advertisement